Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: $180

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: $240

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: $120

Detail | Add to cart

Privacy Policy

Privacy Policy for www.waytubalagibelajar.blogspot.com/

If you require any more information or have any questions about our privacy policy, please feel free to contact us by email at ayi_a7@yahoo.com.

At www.waytubalagibelajar.blogspot.com/, the privacy of our visitors is of extreme importance to us. This privacy policy document outlines the types of personal information is received and collected by www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ and how it is used.

Log Files
Like many other Web sites, www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ makes use of log files. The information inside the log files includes internet protocol ( IP ) addresses, type of browser, Internet Service Provider ( ISP ), date/time stamp, referring/exit pages, and number of clicks to analyze trends, administer the site, track user’s movement around the site, and gather demographic information. IP addresses, and other such information are not linked to any information that is personally identifiable.

Cookies and Web Beacons
www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ does use cookies to store information about visitors preferences, record user-specific information on which pages the user access or visit, customize Web page content based on visitors browser type or other information that the visitor sends via their browser.

DoubleClick DART Cookie
.:: Google, as a third party vendor, uses cookies to serve ads on www.waytubalagibelajar.blogspot.com/.
.:: Google's use of the DART cookie enables it to serve ads to users based on their visit to www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ and other sites on the Internet.
.:: Users may opt out of the use of the DART cookie by visiting the Google ad and content network privacy policy at the following URL - http://www.google.com/privacy_ads.html

Some of our advertising partners may use cookies and web beacons on our site. Our advertising partners include ....
Google Adsense


These third-party ad servers or ad networks use technology to the advertisements and links that appear on www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ send directly to your browsers. They automatically receive your IP address when this occurs. Other technologies ( such as cookies, JavaScript, or Web Beacons ) may also be used by the third-party ad networks to measure the effectiveness of their advertisements and / or to personalize the advertising content that you see.

www.waytubalagibelajar.blogspot.com/ has no access to or control over these cookies that are used by third-party advertisers.

You should consult the respective privacy policies of these third-party ad servers for more detailed information on their practices as well as for instructions about how to opt-out of certain practices. www.waytubalagibelajar.blogspot.com/'s privacy policy does not apply to, and we cannot control the activities of, such other advertisers or web sites.

If you wish to disable cookies, you may do so through your individual browser options. More detailed information about cookie management with specific web browsers can be found at the browsers' respective websites. 

Di pasar saat Ramadhan Kelima Siang itu

Senja hampir tenggelam dan langit perlahan mulai berubah warna seperti arang. Gelap. Pekat. Tanah di pesisir masih basah. Sisa ombak menggenang di atas permukaan pasir. Jejak kaki masih meninggalkan dingin di pasir biru ini. Pijar cahaya lampu di rumah bambu membiaskan warna keperakan di antara deru ombak.

Pesisir tampak lengang, tak kulihat orang melintas di pesisir. Tetapi, saat aku kembali duduk di diantara bebatuan, samar-samar, aku dengar langkah orang yang berjalan dengan langkah tersaruk. Tak lama kemudian, langkah kakinya berjingkat, lantaran menghindari air di antara riak-riak kecil. Aku melongokkan kepala. Aku lihat sosok perempuan berjalan di pasir. Separuh wajahnya tertutupi kerudung sehingga mataku tidak dapat melihat wajahnya yang mulai tampak dengan jelas kala mendekat ke arahku.

Persis di antara dua batu, perempuan itu membuatku terperanjat kaget. Mulutku serasa terkunci dan mataku terperangkap seraut wajah yang nyaris aku kira seorang pengemis yang tersesat ke pesisir jika saja senyumnya tak membuatku teringat kenangan di masa lalu. perempuan itu adalah Bulan. Kulihat wajahnya murung, tak ada sebuah percakapan sehingga membuatku hanya berdiri mematung. Aku termangu menatap sosoknya. Aku pandangi dari ujung kaki sampai ujung hidung.

"Kenapa kau memandangiku seperti orang asing yang tak pernah kau kenal?"

"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke pesisir ini," jawabku

Aku melepaskan pandanganku, seulas senyum memburai di wajahnya yang tadi kulihat nampak letih didera perjalanan. "Maaf..., aku datang tanpa ada kabar. Mungkin aku menginap di sini beberapa hari, tepatnya di rumah budhe" ucapnya ragu, seraya duduk di atas biduk yang membisu.

Aku bengong, kutatap lekat-lekat wajahnya saat ia bercerita jika kini ia begitu menderita. Tak pernah terbersit dalam kepalaku, dia bisa mempertaruhkan hidup di atas kebahagiaan yang belum terbayar.

"Aku balik ke sini, karena ingin selamat. Untung, kini selamat dan tiba di pesisir ini. Aku memang bodoh tapi kini aku sadar bahwa jalan yang kutempuh itu salah. Aku ingin menebus kesalahanku dan ingin menyelesaikan masalahku "

Hatiku tersayat. Aku seperti dibius kesedihannya.

Hari sudah gelap, perempuan yang dulu kukenal baik itu seperti menenggelamkanku dalam duka laranya, ketika adzan maghrib menggema dari mushalla di ujung kampung. Aku bergegas ke kamar mandi, melangkah keluar menuju mushalla di malam kelima pada bulan Ramadhan ini.

***
MALAM itu langit berwarna seperti arang. Gelap. Tanah di halaman rumah masih basah, ketika aku pulang dari mushalla, sehabis tarawih. Di langit, tak kulihat cahaya rembulan. Hanya titik-titik pijar bintang yang bersinar redup. Malam murung, tetapi masih memancarkan secercah cahaya. Sayup-sayup, kudengar gema tadarus dari mushalla.

Malam merambat pelan, dan aku tertidur di ruang tengah. Televisi masih menyala, ketika aku bangun di ujung fajar. Aku bangkit, membasuh muka lalu keluar membeli nasi di warung.
Kulihat Bulan membantu Budhenya menyiapkan pesanan orang-orang yang makan sahur, kusapa dan ia pun bersiap makan sahur.

Tetapi, ia tak bernafsu melahap nasi, tidak terlihat lahap. Ia masih menyisakan beberapa suapan sebelum menuntaskan dahaga dengan menengguk teh hangat untuk menghangatkan tubuh keringnya dari dingin pagi. angin pesisir masih meninggalkan dingin di fajar buta.

"Apa kau yakin besok bisa kuat puasa?" gurauku memancing keteguhannya.

"Gampang!" jawabnya lirih, "Jika tak kuat, ya makan!"

Aku tersenyum. Ia pun tersenyum. angin masih meninggalkan gigil di kaca jendela.

Imsak akhirnya memaksa kami menutup mulut dari seduhan teh hangat. Disusul adzan subuh, lalu aku menunaikan shalat.

***
ESOK HARINYA, ia datang dari pasar dengan langkah tersaruk ketika mentari berada tepat di atas kepala. Langkah kakinya masih sempat aku dengar saat aku bangun dari tidur siangku, kala kedua kakinya menerabas masuk pekarangan. Wajahnya yang tirus kemudian nongol di balik pintu.

"Kenapa kamu kelihatan kusut hari ini"

"Kamu mungkin tak percaya dengan ceritaku ini. Tadi, saat aku ke pasar, hari ini pasar penuh sesak. Entah ini cobaan dari Tuhan atau anugrah. Aku jadi uring-uringan dan tak sabar karena rasa lapar menggerogoti ususku. Karena itu, aku berjanji dalam hati kalau selesai belanja maka akan kutuntaskan rasa laparku ke warung," ujarnya membuatku penasaran.

"Tapi ini lain, aku benar-benar merasakan lapar dan haus yang membuatku pusing! Karena itu, setelah keluar dari pasar , aku segera melangkah dan mencari warung yang dapat mengobati lapar dan hausku. Sejak dari pasar, aku clingukan untuk memastikan bahwa aku tak sedang diawasi orang, lalu aku melangkah ke arah Barat agar jauh dari pasar. Tapi, belum sempat aku menemukan warung, aku justru menjumpai pengemis cilik di perempatan jalan yang membuatku kasihan. Anehnya, di wajah pengemis cilik itu, aku melihat masa laluku. Aku tidak jadi lapar dan malu jika harus masuk ke warung. Lalu, kuberikan uangku pada pengemis cilik di perempatan jalan. Aku tak jadi batal puasa...."

Aku pikir, dia tak serius. Apalagi, dia kerap berbohong kepadaku. Tapi saat kutatap wajahnya, aku tahu ia tak bohong. Selama ini tak pernah kudengar ia mengeluh dari lapar. Kala aku mengais-ngais cerita yang pernah aku dengar, aku sadar jika dia ternyata jarang makan. Lima hari selama tinggal di rumah budhenya, bahkan dia kerap kali tak makan sahur.

Aku menatap wajahnya. Aku sadar kalau wajahnya nyaris tak dipenuhi gundukan lemak, mirip selongsong topeng yang nyaris tanpa daging. Wajahnya seperti sudah kenyang dari derita, diterpa oleh kemiskinan bertahun-tahun. Dan di bulan puasa ini, aku sadar. Ia ternyata sudah bertaubat.

Secari Kertas Kala Senja dan Gerimis di Pesisir

Angin awal bulan ini menghembus semilir menuju pesisir rintikpun tlah satu-satu hujami bumi, bangau kecil mulai bermain di kecepak air diantara ilalang. Bangkai kayu purba mulai terekah, debu menyingkir menghiba pada dedaun kering.

Terseok Si Nang melangkah menuju pantai, Emak hanya menatap. Secarik kertas kumal tiba-tiba menghempas wajahnya. Nang terhuyung dan mengambil kertas itu.

Menginginkanmu adalah harapan bagiku
Menyayangimu adalah derma dalam hidupku
Namun kini aku tahu mencintaimu adalah ego terbesarku

Telah dikirimka-nya malaikat untuk menjaga imanmu
Dan telah pula dia sandingkan seseorang terbaik untukku
Yang tak pernah kutemui orang lain mencintaiku seperti dia mencintaiku
Betapa tak berartinya semua yang kita miliki bila dibanding semua yang telah mereka berikan untuk kita

Maka jika aku selalu menghiba agar waktu mempertemukan kita terlebih dahulu
Kini aku hanya berharap waktu tak pernah mengijinkan kita bertemu dulu
Dan jika penyesalan adalah sebuah dosa maka
Biar waktu berlalu dalam mimpi-mimpi semu
Dalam sebuah kenangan yang akan tersimpan rapat dalam bagian hidup kita………

Sungguhpun begitu kau adalah satu bagian terindah yang dia kirimkan utkku
Bersamamu aku mengerti, bahwa mencintai adalah memberi bukan memiliki.....


"Mak, Mak......" teriak Nang tiba-tiba
"ada apalagi to Nang?"
"Mak..., kini Nang sadar Mak...., itulah hidup.... Bulan memang tlah pergi dari pandanganku,...tetapi bulan gak pernah bisa hilang dalam ingatanku Mak...."

"syukurlah kamu tlah sadar.....jadi jangan kau ratapi kepergiannya, kalau memang garis harus tidak mempertemukanmu dalam mahgligai ya cukup dalam hatimu Nang, nah mulai sekarang bangkitlah biarlah bulan sama siapa saja toh itu sudah diatur Nang.."

"Iya Mak...., maafkan Nang Mak bila selama ini Nang terlalu memikirkan Bulan"
"Ya sudah, sana makan dulu...."

Angin kembali sibak kabut senja kala rasa itu luluh dalam kepekatan, secarik kertas senja itu tlah membuka cakrawala cinta yang hakiki.

Puzzle Bulan di hamparan Pasir

Riak-riak kecil senja di awal juli telah membuatku terpaku bersama bangau putih dan kepiting kecil bermain rasa yang tak mampu kumaknai. Aku begitu tersudut dengan kata-katanya yang sebenarnya telah dipahami beberapa minggu yang lalu.
Sejak bulan menghilang aku tak lagi bisa memaknai tiap langkah yang aku jalani. selalu saja ada yang dianggap salah, padahal tidak ada perubahan sedikit pun. Pesisir menjadi tempat bagiku untuk merenung kembali merangkai cerita usang yang masih saja tak lapuk oleh waktu. Lembut kakimu berlarian mengejar kepiting dengan tawa khasmu kau pun pandangiku. aku simpan rapat senyum itu agar tak menyublim seiring waktu. kini aku rasakan senyum itu tak lagi memiliki makna. Kau selalu salahkan semua yang aku jalani, padahal kamu tahu itulah aku, aku yang dulu kau kenal.

"Nang, kenapa melamun" Mak duduk disisiku tiba-tiba
"Bulan Mak,...."
"kenapa dengan Bulan Nang."
"Bulan tlah benar-benar pergi, Mak"
"Kenapa dengan Kalian..?"
"Tidak apa-apa Mak, bulan tak lagi percaya pada Nang, Mak. Mak ingat kan, bahwa dalam rasa itu ada kepercayaan, maka bila kepercayaan itu sudah tidak ada berarti rasa itu pun pasti hilang kan , Mak?"
"sudahlah Nang...Mak tahu perasaanmu ...Memang berat bila kepercayaan sudah tidak ada lagi Nang.., apalagi untuk mengembalikan kepercayaan itu"
"Tapi Mak, bulan sudah tahu semua dan Nang sudah jelaskan, bulan pun sudah mengerti dan bisa menerim,a tapi tidak tahu kenapa bulan tiba-tiba begitu saja mengatakan Fucking, Nang nggak menyangka Mak"
"Ya sudah redakan rasamu biar adem Nang, jangan biarkan kamu larut seperti ini..sudah ya Mak masuk dulu, bila mendengar azan maghrib segera pulang ya.."
"Iya Mak..."

Kembali lembayung merah menyilaukan mata untuk terakhir sebelum terusir malam. riak-riak pun melemah seiring naiknya air ke pesisir. senja ini aku hanya bisa merangkai cerita-cerita bagai puzzle alam di hamparan pasir lembut ini. Puzzle itu tak lagi bisa menyatu ada saja yang kurang sehingga tak terbentuk lagi gambar yang indah seperti dulu.

Rembulan di Wajah Emak saat Lebaran Tiba


Riak-riak menggelitik di senja menjelang 1 syawal tahun ini. Kulihat Emakmasih saja memandang ombak yang terus bergulung menerpa kakinya. Aku tak berani menyapa, terlalu dalam luka yang Emak rasakan.
Ramadhan tlah berlalu hingga tahun ketiga ini, bahkan 1 syawal tinggal selangkah lagi terbuka gerbangnya. Tapi Mak tak bahagia, selalu saja Emak pandang luas samudra tiap lebaran menjelang. Hanya angin, ombak, pasir, camar, kepiting kecil dan biduk tertidur mungkin yang bisa maknai isi hati Emak. Aku hanya bisa pandang lelehan bening membelah pipi Emak hingga lurus menetes di sudut dagu Emak. Tak pernah Emak mengusap airmata itu.
Sering tak sengaja aku lihat coretan-coretan Emak di kertas kumal robekan buku tulisku, berserak di meja yang Emak lupa menyimpannya.
"Mengapa siang terasa cepat berganti menjadi malam, dan benderang berubah menjadi kegelapan, sementara harapan-harapanku masih mencari dan mengharapkan terang, akankah aku selalu berjalan meraba-raba pada malam tanpa dirimu Kang, hari terus saja berjalan menuju malam, dan langit pun kudapati telah menghamparkan renda-renda kegelapan. Malam telah menangguhkan mimpi-mimpiku menjadi kenyataan, malam yang menjadikan kesepianku makin sering menyapa dan kesunyianku makin terasa. Tak ada yang dapat kulakukan, tak ada yang dapat kutemukan. Kini setiap langkah yang kujejakkan hanya berakhir pada janji-janji belaka. Kebencian pun makin menerobos masuk melalui celah-celah kulitku, mencari dirimu, lalu diam dijiwamu. Lalu, akankah hari-hariku yang penuh kegelapan kan melahirkan kebahagiaan, ataukah akan berakhir dalam sedu-sedan ?, Kang mengertilah Kang..... sampai kapan kau buat aku begini Kang, kasihan Thole Kang....."
Itulah coretan Mak yang selalu membuat aku sadar, bahwa Bapak tak pernah lagi pedulikan Emak dan Aku..., seperti senja ke 30 ramadhan ini, Mak masih saja memandang laut, Emak sadar bahwa lebaran ini Bapak takkan lagi pulang, hanya aku dan laut yang bisa buat Emak tenteram.
"Bersyukurlah Kang, Thole tak pernah punya rasa iri pada teman-temannya, selama ini Thole nurut Kang, tak pernah minta baju baru, seperti layaknya teman-teman Thole saat lebaran tiba. Aku tak bisa berpikir lagi Kang seandainya Thole tidak patuh padaku Kang."
"Aku masih menantimu Kang, entah sampai kapan aku bertahan begini Kang, Kau masih ingat Kang kepiting kecil yang kukejar-kejar dulu masih saja menggodaku tiap kali aku dipesisir ini, atau kupu-kupu putih yang selalu mengitariku di terik senja, tak bosan aku bercanda dengan mereka, aku masih ingat ucapan kamu Kang, bercandalah dipesisir ini bila kamu rindukan aku.. ajaklah kepiting dan kupu-kupu putih ini" Tapi kenapa kamu tak pernah mengingat itu lagi Kang"
Kuperhatikan EMak yang tiba-tiba berjongkok membelai pasir dan menggapai kepiting kecil yang berlari masuk lobang di debur ombak yang tiba-tiba menghempas.Mak kecewa karena kepiting kecil tersapu ketengah buih-buih putih. Aku hanya tersenyum pandangi kekecewaan EMak.
Sayup adzan maghrib berkumandang perlahan, sayup-sayup pula alunan takbir menggema di seantero pesisir bersahutan dari langgar satu dan langgar yang lain.
"Mak, lebaran dah tiba Mak"
"Oh Thole, sejak kapan kamu di sini,... Mak sampai kaget"
"Barusan kok Mak bersamaan dengan adzan yang Mak dengar"
"Iya Le,.... maafin Bapakmu ya..., sampai kini tak pernah rayakan lebaran bersamamu"
Aku tak bisa bicara, kupeluk Emak erat. Tanpa kata, emak benar-benar larut dalam dukanya. aku tahu dari getar dan isak Emak berusaha hibur aku. kulihat teman-temanku berlarian menuju langgar dengan sarung dan peci baru.
"sabar ya Nang..."
"Iya Mak..."
Benar-benar rembulan bersinar di hati Emak, tiga tahun berlalu tanpa Bapak, begitu sabar Emak jalaninya, Kulihat purnama di wajah Emak, walau baru tanggal 1 terasa tanggal 15 purnama.
Kembali lebaran tahun ini aku tanpa Bapak, tanpa baju, sarung dan peci baru.., hanya Emak dan rembulan di hati Emaklah yang selalu menemani lebaranku seperti 2 tahun lalu. dan kumaknai ramadhan ini sebagai kerendahan diri di mata Allah, keikhlasan telah Mak ajarkan padaku. Tak perlu baju, sarung dan peci baru, tapi hati inilah yang jadi ukuran berhasilkah menjalani ramadhan sebagai kewajiban seorang hamba.
"Sana mandi dulu Nang..."
"Iya Mak..., "
"Allahu Akbar, Allahu Akbar....Allahu Akbar.... Laa Illah ha illahahu allahu akbar......... allahu akbar walillahilham"
"Aku sudah maafkan kamu Kang seperti lebaran tahun lalu walau kamu tidak pulang. Tiga piring berisi lontong dan sayur nangka muda pun sudah aku siap untukmuKang, meski tanpa opor ayam seperti keluarga lain. "
Kulihat Emak kembali menangis, terduduk di sudut amben, pandang pintu terbuka yang tak pernah di ketuk lagi oleh Bapak, hanya laut lepas yang bisa dipandang Emak. Pesisir tak lagi sepi, petasan pun berentetan dan kembang api menerangi pesisir malam lebaran ini. aku pun menikmati indah malam lebaran dipelukan Emak tanpa harus beli petasan dan kembang api.

contoh pidato tentang korupsi


Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Suatu kehormatan yang besar bagi kami memperoleh kesempatan menyampaikan Pidato Kebudayaan “Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia dalam Agama dan Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki. Terlebih lagi, kesempatan ini diberikan di dalam sepertiga akhir bulan mulia Ramadhan 1425 H.

Saat dimana kita kian mendekatkan diri kepada-Nya sembari berkaca diri terhadap pencapaian moral spiritual individual dan kesalehan sosial kita. Untuk kehormatan yang membahagiakan ini kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memelihara suatu tradisi positif untuk menciptakan kedekatan hubungan rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan pemimpin.

Usaha ini perlu dipelihara dan didorong terus, mengingat makin berjaraknya hubungan keduanya. Dus, karena berjaraknya hubungan ini, isu-isu dan agenda bangsa menjadi elitis kian menjauh dari kepentingan kalangan akar rumput. Tradisi tatap muka ini, sangat mungkin menghadirkan kehangatan bersosialisasi, sekaligus memberi kesempatan para pemimpin untuk belajar langsung dari kebersahajaan rakyatnya.

Para hadirin dan hadirat yang terhormat, para budayawan, para seniman, para aktivis, para cendekiawan, para mahasiswa dan kawan-kawan tercinta,

Dalam kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagian ini, sungguh tepat bila kita merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang mengamanatkan demokratisasi , pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan jaminan keamanan. Perihal proses demokratisi, kita bersyukur kepada Allah SWT, karena rakyat telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, DPD dan pemilihan presiden langsung ; suatu tradisi berdemokrasi yang begitu penting dan akan menentukan nasib bangsa dan negara kita.

Harus diakui secara jujur, perjalanan nasib bangsa dan negara kita telah mengalami berbagai musim pancaroba dan gelombang pasang surut yang melahirkan harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan yang mendalam selama sewindu krisis multidimensi ini bahkan berimbas pada krisis identitas bangsa. Taufiq Ismail (2003) secara sinis memotret kondisi ini dalam, “Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini”:
Kita hampir paripurna jadi bangsa porak poranda,

terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara didunia
Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia kini, sudah untung
Pergelanggan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor
Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita kaos oblong dicap sablon
besar-besar : Tahanan IMF dan Bank Dunia.

Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu di dunia,
diusir pula di tangga pelabuhan,
terapung-apung di lautan,
Kita sudah tidak merdeka lagi.

Indonesia sudah masuk ke dalam masa kolonialisme baru,
dengan penjajah yang banyak negara sekaligus,
Nilai-nilai luhur telah luluh lantak,
berkeping-keping dan hancur,
berserakan di kubangan Lumpur,…”

Senada dengan gambaran di atas, dalam bahasa lain yang futuristik, pujangga Ronggowarsito (1802-1873) menulis “Serat Kalatidha” memprediksi munculnya “jaman edan”, suatu masa krisis sebuah bangsa. Secara bijak, pujangga ini menasihati kita agar tetap “eling” dan “waspada”.

Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Ndilallah karsa Allah
Sakbeja-bejane kang lali
luwih beja kang eling lawan waspada..

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Masalah korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa ini. Ia telah menjalar sebagai budaya sekaligus penyakit akut bagai virus ganas yang aktif menggerogoti ke sekujur tubuh negara. Ia bukan lagi bisul yang bisa ditutup-tutupi. Sungguh ironis, sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan beragama –bahkan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pilar pertama dasar negara- juara pertama korupsi justru kita sandang. Berbagai indikator “olimpiade korupsi” diselenggarakan oleh lembaga asing semacam Transparancy International (TI) dan Political Economic Risk Consultancy (PERC), menempatkan RI sebagai ‘pemenang’.
Dampak praktik korupsi begitu jelas telah memporak-porandakan bangsa kita. Studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik. Ini berakibat lanjut pada pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial. Secara lebih khusus, laporan UNSFIR (United Nations Support for Indonesia Recovery, 2000) menyatakan bahwa keterlambatan Indonesia untuk melakukan pemulihan (recovery) pasca krisis yang menimpa Asia sejak 1997 juga akibat meluasnya korupsi di sektor publik
Sedangkan, Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dari buruknya kinerja pemerintahan. “Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan, dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaaan terhadap demokrasi.” Dengan kata lain, meminjam istilah Yudi Latif (2002), korupsi sangat erat dengan delegitimasi politik. Walhasil, pemerintahan yang koruptif akan menuai delegitimasi politik yang tidak menguntungkan sama sekali dengan demokrasi.

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Relasi agama dan pemberantasan korupsi dapat disederhanakan sebagai, “prestasi negara yang bangsanya religius akan lebih baik dalam pemberantasan korupsi”. Apabila yang terjadi sebaliknya, kita tidak serta merta menunjuk kesalahan terletak pada an sich agama, namun pada penghayatan keberagamaan masyarakat. Sangat gamblang, semua agama melarang perbuatan korupsi. Tetapi, mengapa orang beragama masih terjerumus pada tindakan yang dimusuhi agama? Salah satu jawabannya adalah tercerabutnya penghayatan terhadap visi agama yang luhur dalam praksis sosial sehari-hari. Sebagian kita masih lebih mementingkan kesalehan individual, dan kehilangan elan kesalehan sosial. Disinilah dibutuhkan peran keteladanan para pemimpin nasional untuk menegakkan kualitas spiritual bangsa, memupuk kualitas moral dan meningkatkan harkat martabat bagsa , menjadi krusial.

Kita menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi sebagaimana telah dijanjikan oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono yang kini bekerja keras dengan kabinet Indonesia Bersatu. Selain keberadaan berbagai perundangan untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang bebas KKN, rencana program 100 hari dengan terapi kejut seperti me”Nusakambang”kan para koruptor patut kita apresiasi dan tunggu pengejawantahannya. Larangan yang diserukan Komite Pemberantasan Korupsi supaya pejabat tidak menerima parsel juga merupakan angin segar pertanda mulai muncul gerakan mengurangi masuknya pintu-pintu budaya KKN.

Jauh sebelum hingar bingar Pemilu, ormas tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersama-sama telah mengikat janji untuk bahu membahu memerangi budaya korupsi. Kita juga bersyukur dengan maraknya jaringan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah sejak beberapa tahun silam membentuk koalisi anti korupsi di setiap kabupaten dan provinsi melalui Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK).

Meskipun perlu terus mengkritisi efektivitas gerakan populis tersebut, kita berharap ormas-ormas lain untuk terlibat aktif dan kreatif menyambut semangat perang memberantas korupsi. Secara moral, lembaga dan ormas keagamaan memiliki otoritas menyerukan kepada institusi maupun individu anggotanya untuk menolak keras setiap sumbangan haram yang terindikasikan korupsi. Seruan atau slogan-slogan pemberantasan budaya korupsi seyogianya selalu dikelola secara cerdas dan berkesinambungan, mengimbangi kampanye konsumtivisme, hedonisme dan materialisme yang setiap hari gencar mengepung pemirsa lewat berbagai media massa.

Alangkah indahnya membayangkan sinergi agama dan negara dalam pemberantasan korupsi; penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu dilakukan pemerintah , sementara penghayatan keberagamaan melalui keteladanan para pemimpin dijalankan secara nyata, bukan sekedar wacana belaka.

Dengan begitu agama benar-benar mampu menjadi kekuatan solutif bagi problema bangsa dan selalu mengedepankan azas manfaat (utility). Agama seyogianya menjadi ujung tombak yang merekatkan seluruh umat untuk saling mengokohkan eksistensi bangsa dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus menepis anggapan negatif bahwa agama menjadi sumber konflik dan teror. Kita patut mendorong fungsi profetik agama yang mengedepankan supremasi hukum, proses demokratiasai dan memerangi korupsi. Fungsi ini hendaknya ditumbuh kembangkan secara partisipatoris dan dialogis mengingat pluralisme dalam kebangsaan kita. Jadi, tidak dibenarkan oleh agama atau hukum positif manapun, upaya pengurasakan secara sepihak terhadap tempat-tempat atau simbol kemaksiatan tanpa mengindahkan dampak yang muncul sebagai akibatnya.

Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala. Dalam kalimat lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’. Intinya adalah budaya paternalistik kita masih kuat. Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan pemimpinnya. Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk merekonstruksi perubahan mental pada elitnya. Jika para elit pimpinan bangsa menghendaki perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan. Mustahil mengharapkan muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru merasa nyaman dengan praktik tersebut. Mustahil mengharap negara berani membersihkan koruptor jika pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap terjadi.

Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian merupakan contoh-contoh ajaran mulia setiap agama untuk diperbincangkan sekedar sebuah idiologi. Semua ini bisa dipraktikkan sehari-hari, dan alangkah indahnya jika dimulai dari para pemimpin kita yang memiliki kedudukan sangat penting di dalam masyarakat, dan karenanya mempunyai pengaruh yang luas dalam masyarakat.

Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya. Idealisme seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh pemimpin-pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial seperti korupsi.

Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata mereka. Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih dari itu kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara. Mereka merasa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap bersahaja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap tamak yang selalu menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan melakukan korupsi-.

Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara sekejap dan tiba-tiba. Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak dini dalam lingkungan keluarga. Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-kuliah di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Kepuasan kita selama ini hanya pada verbalisme (Nurcholish Madjid, 2004) Yaitu perasaan telah berbuat sesuatu karena karena telah mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda Allah, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para aulia itu semuanya sudah selesai (Mohamad Sobary, 2004). Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian tidak akan terwujud hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –betapapun kita sering dan rajinnya melakukan –melainkan harus dengan tindakan keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. “Mengapa kamu semua mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?! Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya”

Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin berawal dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka. Di rumah tangga, patut diadakan dialog-dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara normatif. Diperlukan pendekatan secara dialektis dalam keluarga sehingga terlatih jika ada bandingan-bandingan. Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan bersahaja tidak bisa dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi. Ketika masih kanak-kanak kita tentu hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana kebersihan sebagian dari iman itu supaya tidak tinggal kata-kata.

Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan perduli bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli. Namun karena bersahaja yang betul, tidak karena kebetulan. Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena kebetulan. “Tugas kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal apakah itu wisdom, apakah itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran normatif menjadi tataran yang menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur menyejarah.” (M. Sobary, 2004) .Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita justru perlu belajar dari kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya.

Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau rakyat. Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang merata. Menurut Moh. Iqbal:

“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the horizon lost in him”
Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,
Sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 yang telah diamendemen, salah satu tugas kebudayaan kita juga adalah mendorong pluralisme budaya. Negara memajukan kebudayaan nasional dengan tetap menjamin kemerdekaan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kemajemukan budaya ini harus kita terus dorong tanpa perlu terjebak pada etnosentrime sempit sehingga warisan adi luhung nenek moyang kita tetap eksis di tengah-tengah pertempuran global elemen budaya asing.

Salah satu warisan adi luhung yang cukup relevan kita pelihara adalah wasiat Ronggowarsito. Di tengah zaman “edan”, ketika budaya korupsi sudah mewabah demikian dahsyat, nasihat untuk“eling” dan “waspodo” dapat dikontekstualisasi dengan apa yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di dalam UUD 1945.

Kita diharapkan ‘eling’ bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk bangkit dan bersaing dengan budaya bangsa lain (global). Kita menyadari , ‘eling’ sepenuhnya bahwa dengan kesederhanaan ketika masa perjuangan mampu menghantarkan bangsa ini merdeka dari penjajah.

“Waspodo” dapat dimaknai agar kita menghadirkan kesadaran penuh tentang jati diri bangsa yang tidak ingin tereduksi justru karena budaya korupsi. Secara sederhana, budaya ‘waspodo’ telah ditunjukkan oleh rakyat kita dalam Pemilu 2004 silam. Budaya ‘money politics’ sudah berkurang tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak.

Wallahua’lam bishowaab,
Wabillahitaufik wal hidaayah,
Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Sambutan Tuan Rumah Tasyakuran Kelahiran Anak Pertama


Sambutan Tuan Rumah Tasyakuran Kelahiran Anak Pertama
-----------------------------------------------------------------------

Hadirin dan hadirat yang kami muliakan,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahi rabbil aalamin, atas nama keluarga kami mengucapkan selamat datang kpd para tamu, yg telah sudi meringankan kaki memenuhi undangan kami sekeluarga atas lahirnya putra kami yg pertana, yg kami beri nama Agung Sumarsono.

Pada kesemptan ini kiranya kita patut bersykur kepada Allah, atas nikmat dan anugerah yg dilimpahkan kepada keluarga kami, untuk itu patutulah kami bersyukur atas nikmat Allah SWT ini.

Selanjutanya kami sekeluarga mohon doa restu dan doa semoga anak kami yang pertama ini benar-benar nantinya menjadi anak yg sholeh, pandai, patuh kepada kedua orang tua, berguna bagi saudaara, tetangga, teman, masyarakat, nusa bangsa dan agama. Amin.
Hadirin yg berbahgia,
Atas perhatian hadirin dan keikhlasan hadirin bertandang ikut berbahagia bersama kami ini merupakan kebahgiaan tersendiri bagi kami sekeluarga, semoga amal baik hadirin sekalian diterima oleh Allah SWT dan diberikah pahala yang berlipat ganda. Amin.

Tak ada kata yang tepat untuk menyampaikan lebih banyak rasa terima kasih kami kepada hadirin sekalian kecuali doa semoga Allah SWT memberikan pahala yang tak terhingga.

Demikian sambutan kami, mohon doa restunya, dan tak lupa kami sekeluarga atas nama orang tuanya putra kami Agung Sumarsono menyampaikan mohon maaf jika saja seandainya ada sesuatu yang kurang berkenan di hati hadirin.

Akhirnya kami persilahkan Bapak Kyai Haji Abdullah kiranya sudi Bapak memimpin doa. Kami persilahkan Bapak Kyai untuk memulai doa.
Billahi taufiq walhidayah, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


close
cbox